Podium poltik kita masih jauh dari spirit kasih sayang. Sepertinya, poltik kasih sayang (the politic of love) tak efektif dalam menggapai ambisi pribadi. Para elit lebih tertarik menggunakan “poltik kebencian (anti lawan politik) untuk mewujudkan mimpi meraih kuasa.
Padahal, kita tahu cinta mempunyai daya mengubah (the powerful of love). Watak transformatif dari cinta hanya mungkin teraktualisir jika “setting dan sistem” politik tidak terkontaminasi dengan “arus radikalisme dan sentimen primordial” yang picik. Sayang sekali, politik cinta bakal sulit berkompetisi di negeri ini tersebab oleh “mengakarnya” politik negativitas dan agresivitas.
Oleh karena itu, perayaan akan “Hari Kasih Sayang”, 14 Pebruari ini, menjadi momentum ideal untuk mendorong penerapan politik kasih sayang dalam menata kehidupan bersama yang lebih baik. Impian untuk meraih kuasa tak harus menggunakan cara-cara arkais dan animalis. Ia bisa diraih dengan mengenakan mantel politik kasih secara reguler setiap hari.
Bukankah politik itu adalah ‘sarana’ memperjuangkan kepentingan bersama yang lebih baik dan bermutu? Jika kita konsisten mengamalkan definisi politik, maka sebenarnya nuansa kasih sayang itu bersifat inheren, tak terpisahkan dari politik. Praksis politik merupakan manifestasi dari ‘rasa cinta’ terhadap sesama.***