Meragukan Kebohongan Para Pakar (Belajar dari Gagasan Stoik)
Oleh: Fardinandus Erikson (peminat karya pendidikan)
Gagasan Stoik, meskipun menawarkan panduan hidup yang berfokus pada pengendalian diri dan kebijaksanaan dalam menghadapi penderitaan, sering dikritik karena kecenderungannya untuk mengabaikan pentingnya emosi dan pengalaman manusia secara keseluruhan. Stoisisme mengajarkan bahwa perasaan negatif, seperti kesedihan atau marah, harus dihindari dengan cara mengendalikan reaksi internal, yang dianggap bisa mengarah pada penindasan perasaan alami. Kritik ini menyatakan bahwa pendekatan semacam itu bisa mengarah pada ketidakmampuan untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah emosional secara sehat, serta bisa mengurangi kapasitas individu untuk terhubung secara emosional dengan orang lain.
Selain itu, Stoikisme terlalu berfokus pada pengendalian diri dan penerimaan terhadap nasib, yang bisa mengarah pada sikap fatalistik atau pasif terhadap ketidakadilan sosial atau masalah yang lebih besar dalam masyarakat. Para pengkritik berargumen bahwa dengan terlalu menekankan penerimaan terhadap apa yang tidak bisa dikendalikan, Stoikisme dapat menghambat tindakan sosial dan perubahan positif yang diperlukan untuk mengatasi ketidaksetaraan atau penindasan. Filsafat ini, dalam pandangan ini, dapat memberikan rasa nyaman dalam keadaan yang tidak adil, tanpa memotivasi individu untuk berjuang melawan ketidakadilan tersebut. “Nde umbu te’ka, nde mbu le’a.”Yang berarti: “Bohong sekali, nanti kebohongan itu akan terbongkar.” Peribahasa ini menggambarkan bahwa kebohongan, meskipun mungkin berhasil untuk sementara, pada akhirnya akan terungkap. Hal ini mengingatkan bahwa kebenaran akan selalu muncul, dan kebohongan tidak dapat bertahan lama.***