Menggugat Kepastian Hukum Kasus Perdata Menjadi Pidana
Oleh: Yulianus Soni Kurniawan, SH (Profesi: Pengecara/Advokat)
Pertama, kasus diatas adalah murni perkara perdata yang diseret menjadi kasus pidana. Telah secara jelas dan terang ditegaskan bahwa proses hukum dimulai dari negosiasi harga tanah dan kesepakatan harga tanah telah selaras dengan pasal 1320 KUHPerdata dan pasal 1338 KUHPerdata.
Selain itu merujuk pada dalih penuntut umum bahwa persoalan aquo mengenai keabsahan alas hak atas tanah adalah dalil yang keliru karena merujuk pada Pasal 24 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan secara tegas dalam hal tidak atau tidaklagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat:
- penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya;
- penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
Selanjutnya, Pasal 26 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 berbunyi Daftar isian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) beserta peta bidang atau bidang-bidang tanah yang bersangkutan sebagai hasil pengukuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) diumumkan selama 30 (tiga puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau 60 (enam puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sporadik untuk memberi kesempatan kepada pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan.