Menggugat Kepastian Hukum Kasus Perdata Menjadi Pidana

Oleh: Yulianus Soni Kurniawan, SH (Profesi: Pengecara/Advokat)

Dalam kasus aquo ditemukan juga fakta bahwa tanah tersebut tidak ada sengketa sehingga menjadi jelas bahwa sengketa ini adalah kewenangan hukum perdata dan bukan persoalan hukum pidana.

Kedua, Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 dalam amar putusannya menyebutkan: “Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;”

Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah menilai pencantuman kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor membuat delik dalam kedua pasal tersebut menjadi delik formil.

Hal itu yang seringkali disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan yang diambil bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya.

BACA JUGA:
Kejaksaan Harus Menjadi Role Model Penegakkan Hukum
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More