Dalam usia 10 tahun, Naiya menjadi titik persinggungan antara keceriaan tulus dan lugu seorang anak dan peran kakak yang mengharuskannya kreatif mengemas jenaka. Ia tidak bisa semata-mata lugu, tetapi juga cerdik mengelola emosi sang adik agar tidak gaduh dalam tangisan. Pada persinggungan itu, Naiya adalah terang yang gamblang mengatakan, bukan orang dewasa yang mengajarkan bagaimana kegembiraan itu sesungguhnya. Anak seusia itu memberi suluh bagi keluarga, bagaimana seharusnya melewati hari yang penat tanpa kehilangan jenaka, tanpa tergerus oleh lelah.
Dalam kesumpekan dunia kerja, Naiya mempertemukan keluarga dengan mengajak berkumpul. Ia gemar mengajukan permintaan untuk bersua dengan keluarga yang lain. Om, tante, sahabat, kenalan orang tuanya dirajuknya untuk berjumpa. Naiya adalah simpul yang mengajarkan bahwa amatlah mungkin untuk mengalami perjumpaan dan merasakan pentingnya bertemu, di saat waktu terasa hanya setitik.
Di usia amat belia, kelas 2 SD, kegembiraan telah menjadi panggilan hati Naiya. Sembari belajar menuangkan huruf, tulisan kecilnya mengungkapkan panggilan hati itu: