“….Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga..”
Tidak banyak media massa memuat eulogi seseorang, kecuali bagi mereka yang dianggap beken karena ketokohannya. Maklum, cerita tentang wafatnya figur publik akan diikuti pembelajaran bagi banyak orang tentang perjuangan tokoh itu dalam membangun kebaikan bersama. Pujian pada sang tokoh bisa memberi pesan penting bagaimana suatu tujuan hidup diperjuangkan, dicapai, dan dipertaruhkan. Tentu semuanya itu menjadi bermakna karena melalui proses jatuh bangun selama bertahun-tahun. Kisah semacam itu bersifat heroik untuk mengingatkan publik terutama mereka yang sepemikiran atau pengikut sang tokoh. Tentang hal ini, bisa dibaca di banyak eulogi tokoh-tokoh ternama. Misalnya, Presiden Bush Sr atau kutipan kenangan atas kepergian Mother Theresa.
Apa yang diutarakan berikut ini bukan tentang tokoh publik. Bukan pula figur dewasa yang heboh dan layak untuk diekspos. Tetapi tentang seorang bocah jenaka berusia 10 tahun yang sejengkal hidupnya mengingatkan banyak orang tentang pesan Yesus, seperti kutipan pembuka di atas, “biarkanlah anak-anak datang padaKu, sebab yang seperti itulah yang empunya kerajaan Sorga..”. Kerajaan Sorga, tentu sulit dibayangkan orang dewasa yang sibuk menghitung waktu. Tapi bagi anak-anak, setiap waktu adalah Sorga. Betapa tidak. Mereka tertawa dan tersenyum tanpa beban. Studi mengatakan bahwa anak-anak tertawa hingga 300 kali per hari. Kegembiraan itu pula yang mau diutarakan dalam kisah tokoh cilik berikut ini.