SETIAP ‘hajatan formal’ yang diselenggarakan oleh sebuah instansi, baik milik negara maupun swasta, pasti dilengkapi dengan ‘sesi pengambilan gambar’. Pihak sponsor atau para penentu kebijakan, tidak terlalu percaya dengan ‘kata-kata’ yang ditulis dalam sebuah laporan resmi.
Laporan itu, mesti dilengkapi dengan ‘foto-foto’ yang dibidik secara kreatif pada momen itu. Tubuh peserta dan penyelenggara mesti ‘terpampang nyata’ dalam pose yang dijepret dari pelbagai sudut itu. Dengan demikian, tubuh juga menjadi sebuah dokumen otentik sehingga hajatan itu jauh dari tafsiran yang bias.
Rasanya, ada yang kurang jika sebuah ‘seremoni resmi’ tidak dilengkapi dengan foto pendukung. Karena itu, pihak panitia biasanya menyisipkan ‘ritual foto bersama’ dalam rundown acara itu. Pose dalam aneka gaya, sudah menjadi salah satu ‘bukti otentik’ bahwa sebuah kegiatan telah digelar.
Apakah dengan ‘menghadirkan badan’ dalam proses pendokumentasian sebuah program, ada semacam penghargaan yang lebih terhadap tubuh? Benarkah status ‘raga’ telah direhabilitasi sebagai entitas yang tak terpisahkan dari pikiran? Pikiran yang terekspresi dalam ‘teks laporan’ akan pincang jika tidak ditopang oleh badan. Untuk itu, badan dan pikiran itu, harus sejalan.