Mempertimbangkan Pendelegasian Perempuan dalam Proses Adat Perkawinan di Sikka
(Catatan kecil di tengah budaya patriarki)
Pertimbangan pendelegasian kaum perempuan dalam proses adat perkawinan di Sikka, ditilik secara jujur tidak mungkin mengeliminir hal substansial dari pendelegasian itu sendiri. Dan sekali lagi, pendelegasian dimaksudkan agar yang didelegasikan mampu ” mentransfer ” dan
” menerjemahkan ” isi pesan dari yang mendelegasikannya melalui kecakapan – kecakapan dialog dan diplomasi dalam tatanan adat perkawinan di Sikka.
Bagi penulis, mempertimbangkan berarti hal yang bukan substansial bisa direvisi. Dengan demikian, pertimbangan pendelegasian kaum perempuan dalam proses adat perkawinan di Sikka mengandung makna merevisi kebiasaan pendelegasian kepada kaum pria dalam urusan proses adat perkawinan di Sikka. Jika pertimbangan kecakapan argumentasi dialog dan diplomasi yang dipakai untuk urusan ini, mengapa perempuan mesti diragukan ?
Secara peradaban pemikiran dan komunikasi (dialog dan diplomasi), perempuan sudah sejajar bahkan tidak sedikit ada yang sudah melampaui kaum pria. Kualifikasi yang demikian, bisa menjadi pertimbangan bahwa perempuan pun dapat dipertimbagkan untuk didelegasikan dalam urusan adat perkawinan di Sikka. Dengan kualifikasi yang sama, perempuan pun mampu menjadi ” corong ” yang memverbalkan tugas – tugas pendelegasian yang diembankan kepadanya dalam momentum proses adat perkawinan di Sikka.
Saatnya kaum perempuan diberi ruang utk kula babong di meja adat dlm urusan perkawinan. Zaman sdh berubah kesetaraan dan keadilan gender tdk hy wacana tapi hrs diwujudkan. Menjadi presiden, menteri, DPR/DPRD, kadis, camat dan kades jg bisa, apalagi hy jubir di meja adat yg hy melibatkan dua keluarga.
Kalau gagasan ini datang dr kaum laki-laki untuk kemajuan kaum perempuan, luar biasa. Tempora mutamur et nos mutantur in ilis.