Mempertanyakan Aktualisasi Mater Et Magistra dalam Konflik Geotermal di Poco Leok

Poco Leok dengan demikian menjadi representasi kecil dari mimpi besar bangsa menuju kemandirian energi. Namun, janji energi bersih itu bagi masyarakat adat sering kali terdengar seperti ancaman. Mereka khawatir tanah ulayat yang diwariskan leluhur akan dirusak, sumber air hilang, hutan terancam, bahkan relasi sosial dan adat yang mereka jaga berabad-abad akan hancur.

Konflik geothermal Poco Leok lalu berkembang bukan hanya menjadi soal teknis pembangunan, tetapi juga soal hak masyarakat adat, keadilan sosial, keberlanjutan ekologis, dan arah pembangunan bangsa. Dalam pusaran ini, Gereja Katolik tidak bisa menghindar. Gereja hadir kuat di Manggarai; mayoritas masyarakat di sana adalah umat Katolik. Itu berarti apa pun yang terjadi di Poco Leok menyentuh tubuh Gereja sendiri. Gereja tidak bisa sekadar menonton, apalagi diam.

Namun, bagaimana Gereja seharusnya bersikap? Bagaimana Gereja menghidupi panggilannya sebagai Mater et Magistra(ibu dan guru) di tengah konflik konkret yang menyangkut tanah, martabat umat, dan arah pembangunan bangsa? Pertanyaan itu penting, karena enam dekade sebelumnya, Paus Yohanes XXIII sudah menegaskan dalam ensiklik Mater et Magistra (1961) bahwa pembangunan ekonomi dan kemajuan modern tidak boleh berjalan dengan mengorbankan martabat manusia dan kesejahteraan sosial. Ensiklik itu menjadi tonggak penting ajaran sosial Gereja, mengingatkan bahwa Gereja bukan hanya penjaga moral abstrak, melainkan ibu yang melindungi anak-anaknya dan guru yang menuntun mereka di tengah dunia yang terus berubah.

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More