Permakultur dan Eksegese Sukacita di Tengah Pandemi
Oleh : Bernadinus Steni (Penggiat Standar Berkelanjutan)
Kerja begini tentu saja menguji kesabaran. Telapak tangan kapalan akibat gesekan linggis, tidaklah cukup. Hal lainnya adalah digilas terik matahari Timor yang bahkan punggung karang pun ikut menghitam.
Apalagi punggung manusia. Menggunakan mesin pemecah batuh tentu saja dapat menjadi pilihan karena hasilnya akan lebih cepat dan lebih bertenaga. Namun ongkosnya pun tidak kecil. Untuk petani bermodalkan otot, pengalaman, dan doa, sewa mesin bukan pilihan bijak.
Lebih dari itu, sehebat-hebatnya mesin, ia tidak seteliti manusia dalam mengolah tanah. Potongan-potongan karang yang tipis dan tajam dan bisa bikin robek urat kaki, tidak bisa dihalau mesin. Karena itu, pilihan paling mungkin adalah menarik pinggang dan mengayunkan lengan untuk menghujamkan linggis di sela urat karang.
Pertanian Mekon Indah menempuh semua proses pembelahan batu karang itu sebagian besar secara manual. Pekerja-pekerjanya bukan hanya tangguh dalam pengertian ulet secara fisik, tetapi juga “gila”.
Yakni bahwa mereka tidak perduli dengan rasa jeri karena gundukan demi gundukan karang yang terus menantang. Tetapi berdiri di atas rasa percaya bahwa di balik batu karang itu, hamparan tanah subur sedang menunggu.