Permakultur dan Eksegese Sukacita di Tengah Pandemi
Oleh : Bernadinus Steni (Penggiat Standar Berkelanjutan)
Beliau diceritakan orang-orang punya anugerah untuk melihat penyakit dan memberikan obatnya. Saya berpikir mungkin obat-obatan herbal atau racikan dokter dan seterusnya.
Tetapi ketika bertemu, rupanya obatnya bukan itu. Ternyata sumber penderitaan saya adalah konflik yang terus menerus berlangsung di tengah keluarga. Jujur saya akui, puluhan tahun kami menikah, dalam belasan tahun terakhir hampir tidak ada kedamaian.
Tiap hari berkelahi. Pertengkaran tidak berharga. Tidak berupa diskusi tujuan hidup seperti di kotbah-kotbah itu. Tapi hanya hal-hal kecil. Kadang hanya karena salah menaruh barang lalu jadi cekcok mulut yang berkepanjangan. Suami yang malas-malasan untuk ganti lampu, pasang gas.
Atau saya sendiri yang seringkali ketus menjawab suami. Hal-hal semacam itulah. Bukan hal besar, tetapi menjadi amat sangat besar untuk kami. Masalah saya dibongkar Pak Anton di muka umum karena beliau punya anugerah untuk melihat perilaku orang.
Saya memang malu urusan ruang tengah saya digembar-gemborkan. Tapi saya juga mengakui semua itu terjadi. Obatnya? Bukan obat kanker, bukan pula terapi atau herbal. Selain diminta minum banyak air, saya hanya diminta menata diri.