Permakultur dan Eksegese Sukacita di Tengah Pandemi

Oleh : Bernadinus Steni (Penggiat Standar Berkelanjutan)

 TIDAK banyak pesan positif dapat kita terima hari-hari ini. Selain suntuk dan sumpek di rumah masing-masing, media tak jemu-jemunya mengepung mata dan telinga pembaca dengan bombardir informasi Covid-19.

Lebih dari sekedar dirasakan, penderitaan pandemi dipertontonkan dan memenuhi hampir semua layar media sosial.

Tanpa disengaja atau barangkali secara sengaja, berita-berita itu sama sekali tidak menolong untuk melepaskan penat. Justru mereka memanen kecemasan pada hati setiap insan.

Betapa tidak. Penderitaan korban dibuat sedemikian rupa dramatis sampai-sampai dukalara mereka yang meninggal dilacak jauh hingga ke ruang tengah keluarga untuk menghasilkan sepotong tragedi yang dipajang di halaman muka sebuah surat kabar.

Itu semua tidak membuat kesedihan itu makin berkurang. Malah makin menjadi-jadi. Informasi pada masa-masa sekarang ini telah menjelma dari sejarah awalnya sebagai pengetahuan menjadi teror yang melelahkan.

Pertanyaan eksistensial untuk kita, apa gunanya dirimu dan saya, jika hadir di dunia ini hanya untuk menambah daftar derita bagi mereka yang sudah menderita?

BACA JUGA:
Advokat Jangan Jadi Hama dalam Dunia Penegakan Hukum
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More