Sayangnya, hasrat untuk stok makanan menjadi gelombang baru, meskipun pada akhirnya hanya menjadi riasan semata. Distribusi yang sering jadi momok keadilan, seringkali bukan soal jalur transportasi yang buntu, tapi kikir dan rakus adalah motif utama.
Makanan bukan lagi soal konsumsi tapi gaya. Pernah ada laporan sebuah media mengenai kelompok arisan sosialita di Jakarta yang menghidangkan makanan mewah di restoran bukan untuk dihabiskan tapi sekedar buat foto-foto.
Lebih konyol lagi, para pakar yang bicara lingkungan hidup enggan mengkoreksi piringnya sendiri. Hipokrit dimulai dari piring. Ada orang yang belepotan bicara neoliberalisme dan sibuk menuding tekanan pasar global sebagai pemicu kapitalisasi alam.
Tetapi piringnya sendiri penuh dengan tumpukan daging impor yang sarat dengan beban emisi. Bagaimana bisa menuduh orang lain sedemikian rupa, tetapi diri sendiri adalah konsumen utama semua produk yang mencelakakan ibu bumi.
Bicara ekologi dan keberlanjutan lingkungan hidup tentu tetap perlu data dan konsep. Namun semua omongan itu harus sejalan dengan sikap pribadi. Apalagi membedah ekologi, oikos (rumah) dan logos (ilmu).