Kehadiran para pemain personifikasi itu beresonansi sesuai kebutuhan zaman. Tidak selalu laku memang. Apalagi kalau bertarung dengan medsos.
Tapi mereka selalu punya pasar sendiri, terutama pasar galau. Kokak dan sejenisnya mengisi pasar ini. Apalagi ramalan mewabah di banyak aspek, tentu bikin Kokak selalu aktual.
Namun, agak beda dengan Tokek yang monoton dan matematis, Kokak sedikit punya nyali jadi pembawa berita. Dia menyisipkan penjelasan. Ini pula yang jadi jalan pintas untuk kokak menggantikan pembaca kopi, urat tangan, dan macam-macam lainnya.
Itu semua butuh proses. Ramalan kopi, misalnya, baru tayang setelah isinya direguk tuntas dan ampasnya kering. Belum lagi kalau guratan ampas kopi gagal memberi petunjuk. Segelas lagi bisa bikin melek semalaman. Adohhh…sampai kapan.
Begitu juga dengan pembaca garis tangan. Terkadang mata si peramal sudah uzur. Otot-otot yang samar ikut kusut masai. Lalu hati pencari nasib pun tambah galau…
Dikenal sebagai tukang “joak”*, kokak bisa memberi informasi apa saja. Dus, terjadilah suatu ketika saat regim demokrasi beralih jadi tukang hitung. Semua hal dihitung. PILKADA, PILEG, PILKADES, PILKADUS dan PIL-PIL lainnya, berujung pada angka.