Kokak si Tukang “Joak”

Oleh : Bernadinus Steni (Penggiat Standar Berkelanjutan)

Buat saya, kita butuh lebih banyak representasi alam yang bergosip. Gosip manusia hari-hari ini lebih sering berujung berkelahi daripada berkah.

Cerita binatang jadi personifikasi sudah umum digunakan. Tidak hanya punya orang Flores, tapi berlangsung di banyak tempat. Jauh dari konyol dan gosip, binatang-binatang itu kerap mewakili penjelasan manusia tentang lingkungan maupun sikap hidup.

Suatu komunitas kebudayaan mewarisi nilai-nilai itu secara lisan dengan cara demikian, bukan dengan mengusung nama orang tertentu. Sebabnya, pada masa itu dokumentasi tulisan belum  ada. Belum ada penulis masyhur atau pembicara kondang yang bikin hebat satu topik dengan macam-macam kemasan dan propaganda.

Binatang, kala itu, dipandang sebagai narator alam yang akan terus berkisah dari generasi ke generasi. Ciri yang ada pada mereka digunakan sebagai amplifikasi nilai komunal agar tetap terjaga.

Karena itu Kokak dan konco-konconya adalah baju alam yang senantiasa relevan untuk dipakai tiap zaman. Ketika generasi lama telah tiada, generasi berikutnya tetap bertahan dalam tradisi nilai dan tentu saja ketaatan.

BACA JUGA:
Kasus Pelecehan Berbau SARA di Media Sosial
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More