Lulusan SMAK St. Ignatius Loyola selalu ‘laku’ di tengah masyarakat. Saya masih ingat beberapa tamatan Loyola akhir tahun 80-an dan awal 90-an sangat ‘disukai’ masyarakat karena dianggap ‘serba bisa’. Mereka tampil hebat ketika dimintai untuk menjadi Master of Ceremony (MC) atau moderator sebuah acara, memimpin rapat, menyampaikan pendapat, sebagai dirigen, pelatih koor, pemain musik (gitar adalah musik andalan waktu itu), membawakan pidato atau sambutan, memimpin ibadat mulai dari tingkat KBG hingga paroki, dan aneka kegiatan lainnya.
Tegasnya, para alumni Loyola ‘selalu menjadi orang terdepan’. Saya tidak pernah melihat atau mendengar kesan negatif, setidaknya di Desa saya, tentang performa para alumni Loyola saat itu. Sebaliknya, kalimat yang sering saya tangkap dan simpan sampai saat ini adalah ‘mereka itu jebolan Loyola’. Masyarakat cukup kritis untuk membuat semacam pembedaan antara tamatan Loyola dan tamatan dari SMA yang lain.
Meski tidak memperkenalkan diri secara resmi, tetapi hanya dengan melihat dan merasakan pesona kepribadian dan pelbagai keunggulan yang dipunyai oleh individu tertentu, masyarakat sudah bisa menebak bahwa orang itu ‘tamat atau sekurang-kurangnya pernah mengenyam pendidikan’ di Loyola. Pancaran kepribadian dan kualitas diri para alumni sebagai ‘buah dari proses pendidikan di panti SMAK Loyola’ menjadi garansi pengakuan orang terhadap eksistensi lembaga ini. Ketika animo dan antusiasme masyarakat begitu tinggi untuk ‘mengirim dan menitipkan putra-putri’ mereka di lembaga ini pada periode itu, maka saya kira itu adalah bentuk penghargaan dan kepercayaan yang tak terbantahkan.