Ketika “Tingkotoe” Tidak Lagi Menandai Hujan
Oleh : Bernadinus Steni, Penggiat Standar Berkelanjutan
Pusaran waktu tidak lagi lokal tapi menarik banyak tangan. Sepiring nasi yang kami makan dikepung karung-karung beras asal vietnam atau promosi beras murah.
Tingkotoe tinggal kenangan. Yang tersisa dari kampung kami adalah bayangan mengerikan dan gelap dari sebuah perubahan.
Banyak gejala hepatitis B, typhus, demam berdarah, dan jenis wabah laknat lainnya yang tidak pernah ada dalam lembaran cerita di kampung ini ratusan tahun silam. Mereka merintih di rumah sakit, datang dan pergi.
Entah kenapa kami jadi rindu…rindu sekali dengan masa lalu. Sayang, waktu tidak bisa pulih, seperti Tingkotoe yang tidak pernah kembali.
Tingkotoe….
Ting…. teing…. ti…. tei… artinya BERI….
Ko…. artinya ATAU….
Toe…. artinya TIDAK….
Jadi, lengkapnya, BERI ATAU TIDAK?
Org dulu beranggapan bhw itu adalah suara yg mewakili ata paang be le yg dtg menjemput jiwa org yg mau mati tp blm bisa mati krn masih cb ditahan-tahan dgn pelbagai upacsra ritual perdukunan. Nah di tengah itu senua suara dari alam seberang itu terdengar mendesak via suara burung tadi, AYO, BERI ATAU TIDAK, alias TEI KO TOE, TING KO TOE, TEING KO TOE, TEI KO TOE, TI KO TOE…