Ketika “Tingkotoe” Tidak Lagi Menandai Hujan
Oleh : Bernadinus Steni, Penggiat Standar Berkelanjutan
Bertahun tahun sistem pertanian lokal belajar bahwa kontrol atas hama terjadi karena kemampuan mengendalikan waktu dan jenis tanaman.
Keduanya secara simultan diperingatkan oleh burung penanda waktu, si Tingkotoe. Kegaduhannya menandai pergeseran waktu untuk bergegas membajak sawah. Saat itu, hama dalam satu hamparan sawah bisa diringkus dan ditangkal secara bersama-sama.
Tahun-tahun ini dan barangkali yang akan datang tingkotoe tidak lagi berjanji. Dia bingung dengan gejala alam yang tidak lagi mengenal peringatan. Musim hujan terus berubah, membuat tingkotoe tidak pernah kembali secara tepat.
Tingkotoe yang dulunya adalah sebuah periode waktu, saat ini tidak lebih dari sekedar burung bodoh yang terus berceloteh sepanjang waktu.
Panenan dalam 20 tahun terakhir merosot dan tak ada masanya untuk pulih. Alhasil komunitas tidak lagi bersawah. Orang-orang beranjak ke komoditas yang segera mendatangkan rupiah.
Dunia kecil kami tidak lagi mini tapi merangsek masuk ke mata rantai pasar dan demikian sebaliknya. Kampung kecil itu dipilin dalam produk global.
Tingkotoe….
Ting…. teing…. ti…. tei… artinya BERI….
Ko…. artinya ATAU….
Toe…. artinya TIDAK….
Jadi, lengkapnya, BERI ATAU TIDAK?
Org dulu beranggapan bhw itu adalah suara yg mewakili ata paang be le yg dtg menjemput jiwa org yg mau mati tp blm bisa mati krn masih cb ditahan-tahan dgn pelbagai upacsra ritual perdukunan. Nah di tengah itu senua suara dari alam seberang itu terdengar mendesak via suara burung tadi, AYO, BERI ATAU TIDAK, alias TEI KO TOE, TING KO TOE, TEING KO TOE, TEI KO TOE, TI KO TOE…