Ketika “Tingkotoe” Tidak Lagi Menandai Hujan
Oleh : Bernadinus Steni, Penggiat Standar Berkelanjutan
KURANG lebih dua puluh tahun silam, sistem pertanian kami masih teratur mengikuti jejak leluhur. Alam bercerita dalam setiap episode kehidupan. Kami pun mendengar lalu melakukan.
Setiap bab dalam pergantian waktu bergerak dari bel ekosistem yang teratur menuturkan kepada kami untuk berotasi. Dan mulailah setiap masa, setiap musim, setiap hari, dan kadang setiap momen beranjak.
Itu semua diawali burung bernyanyi, pohon meranggas, jangkrik melengking, dan tanda-tanda yang bertutur benar dalam sejarah kecil komunitas kami.
Ini adalah sepotong cerita. Dimulai dari seekor burung bersayap kecil. Tidaklah penting bagi dunia yang besar. Bagi dunia kecil kami, burung ini lebih dari putaran roda waktu.
Dia tidak hanya mengajak kami untuk beranjak. Tetapi meyakinkan kami selama ratusan tahun tentang siklus pertanian yang produktif dan mengetuk gerbang pergantian musim dari generasi ke generasi.
Burung itu namanya Ting-ko-toe. Saya tidak mengetahui persis arti namanya. Tapi bunyinya yang melengking “ting” barangkali merupakan onomatope. Lalu leluhur dahulu kala menamainya dengan nama itu.
Tingkotoe….
Ting…. teing…. ti…. tei… artinya BERI….
Ko…. artinya ATAU….
Toe…. artinya TIDAK….
Jadi, lengkapnya, BERI ATAU TIDAK?
Org dulu beranggapan bhw itu adalah suara yg mewakili ata paang be le yg dtg menjemput jiwa org yg mau mati tp blm bisa mati krn masih cb ditahan-tahan dgn pelbagai upacsra ritual perdukunan. Nah di tengah itu senua suara dari alam seberang itu terdengar mendesak via suara burung tadi, AYO, BERI ATAU TIDAK, alias TEI KO TOE, TING KO TOE, TEING KO TOE, TEI KO TOE, TI KO TOE…