Ketika Suara di Jalanan Lebih Lantang dari Mimbar

Oleh Agnes Hestika Ule, Mahasiswi Semester VII STIPAS St. Sirilus Ruteng

Ketika rakyat berbondong-bondong memenuhi jalan, itu berarti ada jeritan yang tidak lagi bisa ditampung oleh sistem. Suara di jalan adalah seruan agar bangsa ini kembali pada cita-cita luhur: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Menghadirkan Harapan di Tengah Kegelisahan

Namun demikian, suara di jalan tidak boleh berhenti pada kemarahan. Teriakan harus diolah menjadi kesadaran kritis dan tindakan nyata yang membangun. Ajaran Gereja menekankan bahwa iman sejati diwujudkan dalam kasih dan tindakan. Demonstrasi harus menjadi panggilan untuk memperjuangkan perubahan struktural, bukan sekadar luapan emosi sesaat.

Di sisi lain, mimbar tidak boleh tinggal diam. Mimbar harus kembali menemukan suaranya, suaranya yang profetik, suaranya yang membela kebenaran tanpa kompromi. Pemimpin agama dan moral perlu berdiri bersama rakyat, bukan sekadar menenangkan atau mengalihkan. Dengan demikian, suara mimbar tidak lagi tenggelam oleh teriakan di jalan, melainkan berpadu dengannya, menghadirkan arah yang jelas dan harapan yang teguh.

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More