
Ketika Suara di Jalanan Lebih Lantang dari Mimbar
Oleh Agnes Hestika Ule, Mahasiswi Semester VII STIPAS St. Sirilus Ruteng
Paus Fransiskus pernah mengingatkan dalam Evangelii Gaudium bahwa “waktu lebih besar daripada ruang”. Artinya, sebuah proses perubahan sosial sering lahir dari gerakan yang nyata di tengah masyarakat, bukan sekadar wacana yang dibatasi ruang politik. Dengan kata lain, suara rakyat yang hidup di jalan menjadi tanda bahwa bangsa ini sedang mengalami proses pencarian arah baru.
Mimbar yang Kehilangan Daya Suara
Mimbar dalam arti luas seharusnya menjadi tempat lahirnya kebenaran moral. Di mimbar gereja, masjid, ataupun ruang publik lainnya, nilai-nilai luhur keadilan dan kasih seharusnya digaungkan tanpa takut. Namun, realitas kadang berkata lain. Suara mimbar kerap dibungkam oleh kepentingan politik, ekonomi, bahkan oleh rasa takut kehilangan kenyamanan.
Padahal, ajaran iman Kristiani menegaskan bahwa martabat manusia adalah pusat dari seluruh tatanan sosial. Kitab Kejadian menuliskan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, sehingga setiap orang memiliki martabat yang tak ternilai. Ketika mimbar abai terhadap penderitaan rakyat kecil, ketika ia lebih memilih diam daripada menegur kebijakan yang menindas, maka wajar jika rakyat mencari panggung lain.