Ketika Jokowi Adalah Kita (Bag.2)
Dionisius Ngeta, S. Fil (Putra Nangaroro-Nagekeo, Tinggal Di Maumere)
Kerendahan hati, ketulusan bekerja dan terus bekerja, tidak melawan kekerasan dengan kekerasan, bukan saja senjata Jokowi dalam menghadapi tantangan dan ladeni para oposisi. Tetapi juga karena kesadaran keberadaannya sebagai pemegang mandat dan pelayan masyarakat serta petugas partai yang mengutusnya. Jokowi bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa selain pelayan dan karena rakyat. Eksistensinya terberi. Kekuasaan dan hak-hak yang diperoleh Jokowi adalah dari, oleh dan untuk kita masyarakat Indonesia. Jadi Jokowi adalah kita.
Ketika menjadi RI 1 bersama Jusuf Kala dan K.H M’aruf Amin, Jokowi tidak berubah. Gaya Jokowi tetap seperti dahulu ketika sebagai wali kota Surakarta dan Gubernur DKI Jakarta. Posisi dan jabatan tidak mengubah sikap, gaya hidup dan kepemimpinannya. Blusukan ke daerah-daerah tetap dilakukannya. Jokowi sadar bahwa dia dimandatkan bukan untuk tinggal di Istana Negara. Jabatan dan kekuasaan sementara yang diberikan oleh rakyat Indonesia bukan untuk senang-senang. Bagi Jokowi, jabatan adalah amanah dan mandat yang diberikan. Karena itu dengan sekuat tenaga ia berpikir dan bekerja untuk kepentingan masyarakat. Untuk itu dia pernah mengatakan pada salah satu kesempatan bahwa menjadi Presiden adalah orang yang siap menjadi rambut putih karena berpikir untuk rakyat dan dahi keriput karena bekerja tiada henti untuk kepentingan masyarakat.