
Ketika Diam itu Dosa, dan Bersuara itu Ibadah
Oleh: Mathildis Amboysa Mamus, Mahasiswi STIPAS Ruteng
Bersuara bukan hanya tindakan sosial, tetapi juga spiritual. Ketika seseorang memilih berbicara demi kebenaran, ia sesungguhnya sedang menyelaraskan diri dengan nilai ilahi: keadilan, kasih, dan kebenaran. Suara itu menjadi doa yang hidup, menjadi ibadah yang melampaui ritual. Diam bias mengisolasi, tetapi suara dapat membebaskan. Ia menyatukan komunitas, menggerakkan solidaritas, dan menyalakan harapan. Dalam sejarah bangsa, suara rakyatlah yang melahirkan kemerdekaan. Dalam keluarga, suara kasih seorang ibu menenangkan anaknya. Dalam pertemanan, suara dukungan bias menyelamatkan seseorang dari keputusa-asaan.
Jangan biarkan hati nuranimu mati. Jangan biarkan ia dibungkam oleh ketakutan atau kenyamanan. Dengarkan ia. Ikuti ia. Biarkan ia menuntunmu ke jalan yang sempit — jalan keadilan, jalan kebenaran, jalan cinta yang berani. Karena di situlah letak keselamatan sejati. Di situlah letak kehidupan yang berkelimpahan. Di situlah letak wajah Kristus yang tersenyum di tengah penderitaan dunia.Suara hati nurani yang menuntut keadilan bukanlah suara yang lemah. Ia adalah suara yang mengguncang takhta tiran, mengubah sejarah, dan menyelamatkan jiwa. Ia adalah suara Tuhan yang masih percaya bahwa manusia bisa berubah. Masih percaya bahwa keadilan bisa menang. Masih percaya bahwa cinta lebih kuat daripada kebencian.