Keseimbangan Ekologi dan Burung Pipit: Belajar dari Great Faminedi China

Oleh: Bernadinus Steni*

MUNGKIN sebagian kita masih ingat cerita kelaparan besar (great famine) di China tahun 1960an. Di samping tragedi kemanusiaan, cerita ini juga merupakan melapetaka ekologis. Sebab utamanya tidak lepas dari kebijakan sembrono, minim perhitungan sains dan politik anti-demokrasi.

Semuanya bermula dari 1958 ketika Mao Zedong, sang Pemimpin Besar, menggalakkan kampanye pembasmian empat hama: tikus, lalat, nyamuk, burung pipit sebagai satu paket dalam Revolusi Kebudayaan menuju ambisi Great Leap Forwardatau Lompatan Besar ke depan.

Dasar pertimbangan kebijakan ini dipungut dari pengetahuan umum, bahwa nyamuk adalah inang malaria. Lalat menyebarkan penyakit di udara, tikus membawa pes.

Sementara burung pipit didakwa sebagai pencuri buah, gandum, padi dan biji-bijian pertanian lainnya. Pipit bahkan dikenakan sangkaan tambahan sebagai binatang kapitalis (public animal of capitalism). Konyol. Tapi itulah kebijkan politik.

Efek masal kebijakan itu luar biasa. Cerita warga yang dikumpulkan dalam sejumlah laporan menyebutkan, warga bergiliran membunyikan panci, wajan, dan drum agar burung pipit tidak mendapat kesempatan untuk beristirahat di dahan pohon, kelelahan terbang lalu jatuh mati dari langit.

BACA JUGA:
Tidak Sekedar Membangun dan Menata Sarana Ibadah (Memaknai Pembangunan dan Pentahbisan Gereja Katolik Patisomba)
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More