Mencermati kasus pelecehan terhadap entitas suku, agama, ras, dan antar golongan; budaya dan kepribadian seseorang menjadi hangat dan aktual di media sosial saat ini. Contoh, kasus pelecehan pemakaian bahasa Sunda oleh seorang anggota DPR RI, Arteri Dahlan, pada Rapat penting yang dipimpin oleh Kejati Jabar. Kasus pelecehan suku bangsa Kalimantan (Dayak) oleh Edy Mulyadi, dengan pulau Kalimantan sebagai tempat buang Jin Kuntil Anak. Dan ucapan pelecehan terhadap pribadi menteri pertahanan, Prabowo Subianto, dengan sebutan” macan yang mengeong”. Dan masih banyak lagi kasus-kasus pelecehan lain yang sama sering terjadi berulang tanpa efek jerah di republik ini.
Kalau jaman dulu, ketika belum ada sosial media, dan apalagi, belum ada undang-undang ITE, kadang tidak terlalu dihiraukan dan kurang menggeliat untuk dipersoalkan oleh orang-orang yang merasa dirugikan. Baik pribadi, lembaga negara, suku, agama, ras dan antar golongan.
Dampaknya meluas, karena mengganggu privasi seseorang, kelompok, suku, agama, ras dan antar golongan budaya tertentu di tanah air kita. Dapat mengganggu dan mengusik rasa damai, rasa cinta kasih sesama, rasa peduli; mengusik rasa persatuan kelompok, agama, suku, budaya, ras, antar golongan tertentu di tengah masyarakat. Menimbulkan benturan demi benturan sosial, seperti rasa persatuan nasional yang utuh dan yang menyatu dalam pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Dibawah panji Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu. Seperti telah tersirat dan tersurat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama pada sila ketiga dari Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Bisa juga, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab sesuai sila kedua dari Pancasila.