Jokowisme, Isu, dan Sampah Demokrasi
Oleh Yohanes Yarno Dano, Ketua Lembaga Pemerhati Demokrasi Indonesia (LPDI)
PSI Mengagas Jokowisme
PSI mengklaim istilah Jokowisme sebagai metafora pemimpin yang bekerja keras memajukan rakyat serta memiliki paham progresivitas pembangunan negara yang berkeadilan dan berdulat. Isu ini memunculkan paradigma baru bahwa Jokowisme melampaui sekat ideologi.
Paradigma Jokowisme yang dimunculkan oleh PSI dan para loyalisnya memunculkan anomali yang terus berkembang dan meluas sehingga menghasilkan kekeringan kritis atas paradigma normal-sains demokrasi. Keadaan ini, diistilahkan Thomas S. Khun, sebagai krisis keilmuan, suatu situasi di mana “ilmuwan” (Politisi dan Elit Politik) tidak dapat lagi menggantungkan kerangka-kerja/model/strategi serta pemecahan pada otoritas normal sains demokrasi yang tersedia.
Dalam kasus ini, asumsi-asumsi dan premis-premis yang mendasari beroperasinya normal-sains demokrasi dipertanyakan ulang. Sebab, krisis keilmuan akhirnya memperlemah ikatan-ikatan teoritis yang dianut, sehingga memunculkan alternatif-alternatif paradigma baru. Yang selanjutnya, alternatif-alternatif paradigma baru ini berebut otoritas (pengaruh) untuk menjadi dominan. Ketika terjadi pemilihan atas satu alternatif paradigma baru, maka satu putaran siklus keilmuan terjadi. Jika merujuk pada pandangan Thomas Khun, bisa disimpulkan Jokowisme adalah fanatisme terhadap demokrasi reaksioner (kebangkitan rasisme dan populisme) dan sistem politik autokrasi.