Jokowisme, Isu, dan Sampah Demokrasi
Oleh Yohanes Yarno Dano, Ketua Lembaga Pemerhati Demokrasi Indonesia (LPDI)
Isu yang sangat mengendap di kepala publik hari ini adalah Gibran Rakabuming Raka putra sulung Presiden Jokowi menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto, walaupun prosesnya cacat secara etika, dianggap benar dengan alasan sudah saatnya anak muda mengambil alih pangung politik. Seolah-olah Republik ini hanya memiliki satu titisan anak muda.
Isu menarik selanjutnya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang disclaimer dirinya sebagai partai anak muda menjadikan putra bungsu Presiden Jokowi Kaesang Pangarep, sebagai Ketua Umum hanya dengan syarat memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) selama dua hari. Proses yang dijalankan putra bungsu Jokowi tidak selaras dengan prinsip dan tujuan partai politik dalam melakukan kaderisasi. Isu ini, juga dianggap benar dengan alasan yang sama, yaitu sudah saatnya anak muda mengambil alih panggung politik. Hal-hal semacam ini secara tegas membantah fungsi primer kritik, yaitu mengurai masalah.
Berpikir kritis adalah filter untuk mencegah opini publik yang mengakibatkan penyimpangan makna, dengan cara mengembalikan fungsi metode yang menjadi struktur dan disiplin dalam cara kerja ilmu pengetahuan. Sayangnya mayoritas anak muda dan elit politik tidak menyadari segala proses yang terjadi sebagai titik awal kemunduran demokrasi.