Jokowi Dibombardir, Adakah Abuse of Power?
Oleh Dionisius Ngeta, Warga RT 018 RW 005 Kel. Wuring Alok Barat
Sebagai anak kampung yang tinggal di pojok kota kecil, saya memaknai semua kegaduhan politik ini adalah hal biasa yang sering dipertontonkan para politisi apalagi di tahun politik. Politik adalah realitas kehidupan penuh kegaduhan tawa dan sandiwara karena kepentingan. Begitu juga migrasi para politisi adalah suasana biasa yang sering dipertontonkan karena peluang dan kepentingan. Politik tanpa kegaduhan laksana pesta tanpa dansa dan tari-tarian. Pindah sana, lompat sini ala kutu loncat tanpa kepentingan tak mungkin terjadi.
Tapi dansa-dansa politik itu kadang kala tidak asyik dipertontonkan jika jauh dari etika, melabrak moral dan norma peradaban. “Demokrasi bukan hanya hak untuk memilih; itu adalah hak untuk hidup bermartabat”, demikian Naomi Klein.
Sebenarnya kegaduhan dan kegundah-gulana khalayak banyak nusantara bermula dari keputasan kontroversi dan kontra produktif Mahkamah Konstitusi (MK). Benteng akhir penegakan konstitusi itu pun diplintir menjadi Mahkamah Keluarga. Karena Anwar Usman, ketua MK dan Gibran Rakabuming Raka pilihan KIM masih dalam lingkaran family.