Bila malam merentangkan tangan hendak memeluk tubuh tua dengan uban yang mencatat sejarah telapak kakinya pada helaian demi helaian rambut, waktu berorasi dalam spasi-spasi tragedi. Janda Moni, demikian langit mendapati kepalanya terkulai menarik benang-benang hitam yang mengikat nafasnya. Dipeluk erat kesunyian jauh dalam kerutan wajahnya. “Saya ini ma molan,” katanya mengutuk-ngutuk jiwa yang rapuh. Ya, sebutan yang diterjemahkan sebagai suwanggi.
Dilemparkan ingatan kala ungkapan itu menghujan dalam bisu, jatuh dari bibir-bibir orang kampung. Waktu itu Pati suaminya jatuh ketika menyadap nira lontar. Lelaki perkasa dengan rasa tuak yang melekat di lidah manusia-manusia yang menghuni kaki bukit Uyelewun itu harus meninggalkan istrinya yang sedang menyusui anak perempuan pertama mereka. Kematian tak biasa itu dikaitkan dari seribu mitos dan fakta, dipadukan bagai merangkul Indonesia dari Sabang sampai Merauke, maka lahirlah sebuah hipotesis lelaki itu telah meninggal sebagai tumbal istrinya. Tentu saja orang kampung bukan jenis manusia yang melabel tanpa dasar, bagai sejarawan dan arkeolog mereka menarik garis-garis waktu dan darah, sudah pasti perempuan itu mewariskan ilmu ibunya. Beberapa saksi yang berbicara membesarkan segala kemungkinan, membuat keterangan waktu dan tempat, data yang didesain seakurat mungkin, serupa menyiapkan presentasi ilmiah.
Sapa Mo Help Jando Moni.
Luar Biasa Ina.
Hhh hajar na hajar