Oleh Ati D. (mahasiswi FKIP Universitas Nusa Cendana Kupang. Perempuan dari Timur Lembata ini telah menerbitkan buku kumpulan puisi dengan judul Nyanyian Lontar)
Nyala api yang merambat di tengah ladang semakin surut. Burung gagak mengepak-ngepakkan sayap, terbang memutar di atas pohon asam tua; sekali dilepas mantra gaib ketika hinggap di ranting pohon. Anak-anak babi berebutan susu ibunya, sambil memadahkan paduan suara dari balik kandang yang paku-pakunya mulai lepas dan batang-batang lamtoro yang mulai lapuk. Usia kandang itu serupa usia Kewa, perempuan sulung Janda Moni. Dari ujung ladang kambing menyahut.
Menyebut janda Moni serupa menyebut mantra terlarang. Hingga tidak asing beberapa ucapan sepertii, “jangan menyebut namanya nanti ditindis.” Begitu akrab menyapah lidah orang-orang kampung yang melintas di samping rumah perempuan itu bila hendak ke kampung lama memilih kemiri, memotong bambu, atau lainnya. Rumah itu adalah sebuah gubuk kecil dengan atap dari alang-alang, dindingnya dari bambu yang disebut nebi. Rumah di hadapan ladang yang luas dengan pagar dari tanaman jarak itulah satu-satunya bekas peninggalan almarhum suaminya, berdiri pasrah di lereng gunung, di antara kemiri dan kelapa, serta beberapa batang pinang.
Sapa Mo Help Jando Moni.
Luar Biasa Ina.
Hhh hajar na hajar