In Memoriam: Bapa Mgr. Emeritus Michael Cosmas Angkur Jadu Ofm
Oleh: Fransiskus Borgias, Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
Sekelumit Pengantar
Baru saja siang ini, 19 Desember pukul 11.32 saya membaca kabar duka di WAG Teras Kramat V/10, tempat kumpulnya cukup banyak para mantan OFM dan beberapa saudara OFM.
Betapa kagetnya saya membaca berita duka itu: Bapa Uskup Mikhael meninggal di Labuan Bajo, di Rumah Sakit Siloam, setelah sebelumnya sempat dirawat di rumah sakit Santo Yosef.
Ketika membaca kabar duka dan sedih itu tentu saja saya dilanda rasa sedih yang sangat kuat dan mendalam.
Walaupun saya ini sudah tidak lagi menjadi anggota OFM, tetapi saya masih membina hubungan yang sangat baik dengan persaudaraan OFM itu yang telah mendidik dan membesarkan saya dalam tahun-tahun formasio hidup saya sebagai orang muda, in illo tempore.
Ketika membaca kabar duka itu, saya langsung teringat akan cukup banyak hal selama ini. Intinya yang saya ingat ialah momen-momen perjumpaan saya dengan Bapa Uskup. Hal itu sudah terjadi jauh sebelum beliau menjadi uskup Bogor.
Percik-percik Kenangan dan Ingatan
Dalam tulisan ini saya mencoba sedapat mungkin menorehkan beberapa percikan ingatan dan kenangan perjumpaan dan interaksi personal dengan beliau.
Pertama kali saya mengenal beliau sekira tahun 1976 saat beliau, entah dalam rangka apa, mampir di Seminari Kisol. Saat itu saya masih kelas dua ESEMPE Seminari.
Dari cerita para senior saya tahu bahwa beliau datang berlibur dan mencoba mampir juga ke Seminari kami. Dan saya juga dengar bahwa saat itu ia bekerja sebagai seorang imam fransiskan di wilayah keuskupan Jayapura.
Saya juga dengar dari beliau sendiri, karena saat itu memang di ikiadakan semacam konferensi dengan para siswa, bahwa saat itu ia duduk juga sebagai anggota DPR-MPR fraksi utusan Daerah dan Golongan (kalau tidak salah).
Luar biasa. Sebagai seorang imam ia didaulat untuk terjun di bidang politik. Praktis sesudah itu saya tidak pernah lagi bertemu dengan beliau.
Tetapi pada tahun 1981, saya dan beberapa teman, setelah tamat dari Kisol, memutuskan untuk masuk ke dalam Ordo Fransiskan. Dan kami memulai tahap awal masa Pendidikan (formatio) kami di Postulan OFM Pagal.
Pada saat itulah saya semakin banyak mendengar dan membaca tentang beliau lewat bulletin bulanan persaudaraan Fransiskan, TAUFAN.
Bahkan pada masa postulant kami, seingat saya, beliau pernah datang satu atau dua kali mengunjungi para saudara dina yang berkarya di Manggarai Raya dan tidak lupa mampir di Pagal, tempat formasio awal kami.
Oh ya, saat itu kami dari Kisol ada tiga orang: Saya, Paskalis, Karel Jande (almarhum), lalu Peter Aman (almarhum, teman kami dulu di Kisol juga tetapi ia menamatkan SMA-nya di Syuradikara, Ende) dan masih ada Yosef Hambur (juga teman kami, tetapi ia tamatkan SMA-nya di SMA Frateran Maumere).
Ada juga Heri Ngabut (teman kami juga di Kisol sampai kelas IV, lalu ia tamatkan SMAnya di Rtg). Selain itu ada enam orang lagi, sehingga kami total ada 12 orang. Dan yang lolos masuk Novisiat hanya 11 orang saja.
Memimpin Fransiskan Indonesia
Entah sejak kapan, Pater Mikhael pindah ke Jakarta dari Jayapura dan menjadi pimpinan Vikariat Fransiskan di Indonesia sebagai Pater Vikaris. Selesai masa Novisiat, beberapa orang dari antara kami pindah ke Jakarta.
Kami mulai kuliah Filsafat di STFD tahun 1983. Saya masih ingat bahwa sekira bulan September tahun itu, tanggal 29 September Hari Raya tiga Malaekat Agung, Vikariat OFM Indonesia berubah statusnya dan dinaikkan menjadi Propinsi. Dan Minister Propinsi yang pertama ialah Pater Mikhael.
Sebagai Minister Propinsi, tentu saja ia sibuk sekali, tetapi tetap saja sangat sederhana dan kebapaan. Hal itulah yang saya rasakan dalam masa kepemimpinan beliau.
Ketika saya menjalani masa TOP di Pagal, Manggarai, 1987-1988, beliau juga pernah datang ke Pagal untuk kunjungan kerja para saudara yang berkarya di sana.
Perjumpaan Personalku
Selanjutnya dalam tulisan ini saya mengisahkan beberapa kisah perjumpaan personal dengan beliau.
Ketika saya pulang TOP dari Flores, dan kami diminta untuk menulis lamaran buat kaul kekal, saya masih ingat bahwa dalam surat “lamaran” itu saya bukannya mau melamar kaul kekal, melainkan memohon agar saya diberi waktu penundaan satu tahun lagi untuk mempersiapkan diri secara lebih serius dan intens lagi. Rupanya surat saya itu ditanggapi beliau secara personal sekali.
Saya ingat pada saat itu beliau datang ke Yogya, walaupun bukan hanya untuk saya saja sebab ada hal-hal lain yang harus beliau urus, tetapi jelas bahwa ia menyediakan waktu untuk agenda pembicaraan pribadi dengan saya. Saya diundang ke kamarnya.
Di sana, dengan sifat kebapaan dan keayahan yang luar biasa, ia mencoba memberi pelbagai macam pandangan dan rencana kepada saya dan meyakinkan saya agar berani mengambil keputusan sekarang terkait kaul kekal itu. Sebab entah sekarang ataupun tahun depan, toh sama saja.
Setelah diberi motivasi seperti itu, dan didoakan dan diberkati beliau, akhirnya saya ucapkan niat dan tekad saya di hadapan beliau, bahwa saya berani maju melangkah untuk kaul.
Maka fixed kami empat orang (Dominikus Minggu, Paskalis Bruno Syukur, Petrus Canisius Aman, dan saya yang paling muda di antara kami berempat, sebenarnya kami bertiga sama-sama lahir tahun 1962 tetapi beda bulan) bersiap untuk masuk ret-ret persiapan selama lima Minggu di rumah Retret Santa Lidwina Bunut Sukabumi. Kami ret-ret mulai pertengahan Desember 1988 sampai pertengahan Januari 1989.
Saya Putuskan Keluar dari ORDO
Menjelang akhir pekan ret-ret minggu ketiga, Pater Minister Propinsial datang mengunjungi kami berempat di Sukabumi dan juga mengadakan pembicaraan personal satu per satu. Pada saat itu saya masih cukup tenang. Tetapi menjelang akhir tahun Desember 1988, saya tiba-tiba merasa bahwa saya tidak bisa melangkah lebih lanjut.
Akhirnya saya memutuskan untuk keluar. Dan saat saya keluar saya diberi surat pengantar oleh Pater Pembimbing Retret kami, Pater Cletus Groenen OFM, untuk dibawa ke Jakarta ke Pater Propinsial. Dengan membawa surat itu, saya muncul di Kramat V dan bertemu Pater Propinsial.
Dia terkejut sekali melihat saya, sebab beberapa hari sebelumnya saat visitasi di Sukabumi tidak tampak gejala apa pun juga. Tetapi akhirnya, bagaimana pun juga saya sudah mengambil Keputusan.
Sehingga pada bulan Februari 1989, hanya tiga orang saudara saja yang maju kaul kekal, walaupun di dalam surat undangan sudah ada empat nama, termasuk nama saya, karena kartu undangan sudah tercetak.
Sejak saya keluar saya hampir tidak pernah berinteraksi lagi dengan beliau apalagi setelah beliau menjadi Uskup Bogor dengan kesibukan pekerjaan yang tidak sedikit. Tetapi beliau sama sekali tidak lupa akan saya.
Sebab tahun 1993, saya mulai mengajar para Frater di Bandung hingga sekarang ini. Dan para frater dari Keuskupan Bogor, keuskupan beliau, adalah juga termasuk mahasiswa kami.
Sering saya dititipi salam oleh beliau melalui para Frater. Saat saya duduk sebagai wakil ketua LBI (2004—2008), saya sering ikut rapat para uskup di KWI. Pada kesempatan itu saya juga sering berjumpa dengan beliau.
Tentu saja saya masih bertemu dengan beliau saat tahbisan Uskup Bogor sang pengganti beliau, pada bulan 22 Februari 2014. Kami berpelukan di Sentul dan dia perkenalkan saya kepada beberapa uskup dengan mengatakan ini anak saya.
Saya terharu sekali mendengarnya. Setelah beliau menjadi emeritus, dan Mgr.Paskalis menggantikan beliau di Bogor, sebagaimana kita tahu, ia tinggal di Gurun Talok di Labuan Bajo, di sebuah Rumah Hening.
Satu kali pada tahun 2013 (saya tidak ingat lagi persisnya) saya mampir di sana untuk mengunjungi beliau di dalam rutinitasnya yang baru, tinggal di rumah itu, dan berkebun.
Luar biasa. Ia sendiri ikut bekerja kebun, ikut membersihkan rumah, termasuk juga mengepel lantainya. Benar-benar seorang imam dan uskup dan sosok bapa yang sangat sederhana.
Dijemput Saudari Maut
Beberapa kali ia dirawat di Jakarta karena sakit, tetapi sayangnya saya tidak pernah ada kesempatan untuk mengunjungi dia. Lalu tiba-tiba terdengarlah kabar duka ini.
Sungguh sedih sekali rasanya. Sang Bapa yang kebapaan itu sudah pergi, dijemput Saudari Maut, sebutan khas para Fransiskan, yang diwariskan oleh Bapa Serafik Fransiskus Asisi.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa Maut itu disebut Saudari? Itu karena dalam pandangan Fransiskus, kematian adalah sakramen kemiskinan terakhir.
Jika dalam dan selama hidupmu engkau sudah hidup dan menghayati kemiskinan, tidak mencoba merengkuh apa pun juga, maka di akhir hidup anda akan menyapa Maut itu sebagai saudari yang datang menyapa dan mengajak kita untuk pergi melewati Pintu, yang tidak lain ialah Kristus sendiri, dan lewat Pintu itu kita masuk ke dalam alam keabadian. Maut tidak merampas apa-apa lagi dari anda, juga tubuhmu. Yang direlakan pergi.
Di mata saya Bapa Mikhael ini adalah ejawantah dari Fransiskus Asisi juga. Atau Fransiskus Asisi masa kini. Jika anda mau melihat Fransiskus Asisi masa kini, lihatlah Bapa Mikael. Selamat jalan Bapa. Para kudus menjemputmu ke dalam alam keabadian. Lux Aeterna, luceat eis Domine. Cum Sanctis tuis in aeternum, quia pius es.