Honor dan Politik Hospitalitas di Lembata
Honorarium yang membengkak sebesar Rp. 3,9 M tersebut menuai kecaman warga Lembata yang dapat dibaca lewat ujaran bebas pada media sosial khususnya Fecebook. Para netizen sangat responsif terhadap isu kenaikan honorarium tersebut sebagai bukti pengontrolan terhadap pengelolaan keuangan yang mestinya berbasis pada kebutuhan primer publik.
Mengapa tidak, bupati Lembata yang masa jabatannnya akan berakhir tahun depan tersebut secara egosentris memutuskan Peraturan Bupati demi melegalisasi keinginannya untuk mendapat keuntungan finansial sebesar mungkin. Keputusan yang tidak kontekstual tersebut tidak bisa dibantah oleh publik Lembata, DPRD sekalipun karena aturan melarangnya.
Manusia menjadi budak aturan yang membelenggu suara kritisnya. Padahal, Lembata berada dalam zona merah ulah Covid-19 yang tentu saja membutuhkan banyak dana ekstra untuk bidang kesehatan. Sangat kontradiktif; di saat Covid-19 mengancam nyawa masyarakat Lembata, Bupati Lembata malah meningkatkan jumlah honorarium di luar gaji pokok. Apakah ini yang disebut pemimpin sebagai pelayan masyarakat?