‘Hidup Enak’ Jadi Koruptor
Oleh Arnoldus Nggorong, Penulis adalah alumnus STFK Ledalero, tinggal di Labuan Bajo
Dengan ungkapan eufimistis yang demikian, dengan sendirinya secara psikologis, memberi kelegaan kepada pelaku korupsi.Sebab kejahatan seperti itu tidak mungkin dilakukan oleh buruh kasar atau orang yang tidak berpendidikan.
Bertolak dari anggapan demikian, mereka pun dikategorikan dalam kelompok yang mesti mendapat ‘privilese’. Dalam artian mereka tidak diperlakukan sebagai si pencuri kakao, misalnya. Akibatnya, tidak pernah terjadi bahwa seorang koruptor yang tertangkap dianiaya dan dihakimi oleh massa. Lagipula, meski perbuatan mereka yaitumencuri tadi, an sich, adalah jahat, pelaku korupsitetap dipandang terhormat karena dinilaitelah memiliki jasa terhadap negara melalui pengabdiannya selama sekian tahun.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan seorang warga biasa (yang berpakain lusuh, kotor, berbau, compang-camping) yang kedapatan mencuri kakao di kebun tetangga. Dia akan memperoleh sanksi sosial berupa bahan pergunjingan dan dijauhkan dalam pergaualan. Atau kejadian yang lebih tragis dan lebih ekstrim lagi adalah penghakiman massa dalam bentuk pembakaran terhadap pencuri motor misalnya.