Di Golgota itu, kekuatan kekuasaan politik dunia diredusir oleh kekuatan kekuasaan Ilahiah. Di Golgota, arogansi kekuasaan politik dunia pada akhirnya mesti mengakui kekuasaan Allah, “Sungguh Dia ini Anak Allah.” Di Golgota, dosa mesti dicampakkan dan disalibkan terlebih dahulu, agar manusia yang dibebaskan keberdosaannya, ditinggikan oleh kekuasaan dan kemuliaan Tuhan Jika kekuasaan dan kemuliaan Tuhan ditinggikan, tak ada tempat lagi bagi kekuasaan dan kehormatan dunia dapat bermegah. Golgota dan wafat Yesus menjadi simbol kekuasaan politik dunia yang tidak human, mesti dimatikan dengan kekuasaan yang mempunyai daya yang menyelamatkan. Golgota menjadi simbol, pengorbanan, kesetiaan dan ketaatan kepada kehendak kebenaran jauh lebih mulia dari bentuk kekuasaan mana pun. Itu berarti, spiritualitas Golgota mengajarkan, bahwa kebenaran lebih memberikan daya penyelamatan dari kekuasaan duniawi manapun juga.
Spiritualitas Golgota, barangkali bisa menjadi permenungan sebagai model spiritualitas kekuasaan di pelbagai sektor kekuasaan umumnya maupun kekuasaan politik. Ada satu bahaya yang menjadi kecenderungan yang lumrah, kekuasaan yang sesungguhmya menjadi medan pelayanan publik, direduksi menjadi kekuasaan yang arogan. Kekuasaan yang arogan kerapkali menghantar para penguasa dan politisi kepada keterlupaan dan kenikmatan akan kekuasaan ( Ekstasi Politik ). Kekuasaan membius penguasa dan politisi menjadi lupa diri untuk berhamba pada kebenaran dan pelayanan kepada publik. Spiritualitas Golgota : pengorbanan dan kesetiaan dalam kebenaran, berganti rupa menjadi kekuasaan yang koruptif, kolutif dan nepotis.