SETIAP tahun dalam tahun liturgi Gereja Katolik ( Roma ), kisah 2000an tahun yang lalu, selalu dihadirkan kembali secara naratif biblik. Tahun ini pun demikian, narasi biblik ( lagi – lagi dihadirkan kembali ) Yesus wafat di kayu salib, dipancang di Bukit Golgota. Setelah melewati jalan penderitaan yang panjang, pada akhirnya Yesus pun wafat secara tragis.
Tentang wafat-Nya ini, dalam konteks Yahudi, penyaliban selalu ditradisikan sebagai sebuah bentuk penghinaan. Penyaliban adalah bentuk hukuman keji dan hina bagi seorang penjahat. Tidak ada pilihan lain bagi seorang penjahat besar, selain dihukum melalui penyaliban. Dan Yesus pun demikian, Dia harus berhadapan hukuman penyaliban. Sebuah hukuman yang dramatis, keji dan tak berperi kemanusiaan. Sebuah konspirasi politik a la Yahudi telah menghantar dan mensejajarkan Yesus, “manusia” yang tak berdosa itu seperti seorang penjahat. Jika ditelisik lebih jauh dari seluruh karya perutusan-Nya, maka sejujurnya mesti diberi keberatan : tidak sepantasnya seorang Anak Allah mesti melewati dan menghadapi penderiraan, juga wafat yang konyol ini. Tetapi secara politis, hukuman seperti ini pantas diberikan kepada Yesus untuk melanggengkan kekuasaan para penguasa bangsa Yahudi. Back ground ajaran dan seluruh karya perutusan Yesus sangatlah populis di hati masyarakat Yahudi, yang bisa menjadi ancaman kredibilitas kekuasaan mereka. Maka, cara yang paling mudah untuk melenyapkannya adalah menghukum seberat – beratnya dan menjatuhi hukuman mati ( penyaliban ) kepada Yesus dengan “mempreteli” nilai – nilai kebenaran. Pada titik ini, prinsip kekuasaan semu sedang bermain peran : kesewenangan perlu hadir demi melanggengkan kekuasaan.