Fosil Manusia Purba Flores Dipajangkan di Pameran Re-Image Bikon Blewut Ledalero
Oleh Walburgus Abulat (Wartawan Pojokbebas.com)
“Perjalanan panjang kekuratoran Piet Petu, SVD sebenarnya diawali kerja panjang di bidang etnografi. Ia melakukan riset yang detail dan amat mendalam tentang budaya-budaya di Flores hingga menghasilkan ragam karya tulis dan pelan-pelan mengakumulasi koleksi-koleksi museum Bikon Blewut yang kelak ia bangun. Riset-riset pentingnya yang tercatat antara lain mengenai tata berladang tradisional suku Lio, kosmologi suku Krowe, perihal Nusa Nipa, riset komprehensif mengenai tenun ikat Flores, perkawinan inkulturatif masyarakat Sikka dan aneka risalah lain, termasuk menerjemahkan Injil Matius, Markus, Lukas ke dalam bahawa Krowe,” katanya.
Ketika tahun 1983 mendirikan secara resmi Museum Bikon Blewut, lanjut Eka, Pater Piet Petu membayangkan museum ini hadir sebagai penopang jejak tradisi yang sudah mulai miring (bikon) dan lapuk (blewut).
Begini ia bertutur, “museum ini harus mengambil inisiatif menemukan dan mengoleksi kekayaan budaya Flores yang tersembunyi agar supaya dapat dilestarikan dan menjadi sumber pembelajaran bagi generasi muda saat ini.” Dengan pendekatan etnografi yang kuat, ia menerjemahkan konteks dan makna dari artefak-artefak yang ditemukan ke dalam tata ruang pamer dan membangun alur dramaturgi berdasarkan tema yang terus diperbarui dalam jangka waktu tertentu. Benda-benda tertentu ia urutkan dalam relasinya dengan benda-benda lain untuk menunjukkan makna relasional dan konteks pemaknaan benda-benda tersebut dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip umum dalam suatu budaya. Misalnya, ketika hendak menghadirkan makna sakral dan inkulturatif perkawinan adat, ia akan memosisikan gading gajah Flores dengan moko dari kebudayaan dongson. Sebaliknya, ketika hendak merepresentasikan posisi pemerintahan tradisional yang bersifat kolektif kolegial, gading-gading yang sama akan ditempatkan bersisi-sisian dengan watu mahe atau altar pemujaan suku bangsa Krowe.