Euforia Menyambut Kurikulum Baru atau Baru Kurikulum

Oleh Fardinandus Erikson, Peminat Karya Pendidikan

Disaat seseorang membuat  curriculum Vitae maka apa yang tertuang adalah kebenaran tentang indentitas dirinya; pengalaman nyata hidupnya. Demikian juga kurikulum pendidikan yang berlaku di sekolah. Mestinya identitas sekolah; karakteristik sekolah, potensi sekolah dengan segala urgensinya. Kekuatan dan kelemahan, ancaman dan peluang (SWOT analysis)itu sungguh-sungguh berdasarkan situasi dan kondisi sekolah tersebut; bukan dari sekolah lain. Namun demikian pengadaptasian karena tuntutan dan kemajuan lokal dan global tetap diproyeksi secara tepat.  Adapun regulasi; mulai dari konstitusi, UU, PP, Perpres, Kepres, Permen, kepmen, perdirjen, pergub, perkadisdik,  bahkan Perkepsek ataupun per-per yang lain ibarat air mengalir dari yang paling Hulu hingga hilir adalah air yang sama. Artinya tidak ada pertentangan baik isi maupun tafsirnya. Kurikulum baru biasanya hanya  sekedar ganti nama; ganti istilah, ada penambahan peraturan yang baru, ganti nama program tapi isi programnya sama; ibarat perubahan warna kulit bunglon. Yang dibutuhkan adalah Baru Kurikulum pendidikan; sejatinya pendidikan Indonesia; bukan pendidikan ala Australia; pendidikan ala  Finlandia,  ala India, ala Amerika ataupunala  Jepang. Indonesia ya Indonesia. Jika kurikulum berdasarkan hasil kajian di negara lain lalu dengan bangga kita jejalkan ke siswadan guru maka  pendidikan di Indonesia pun dijajah oleh bangsa lain.

  1. Catatan Penguatan.

Kekacauan karakterakibat dari instrumentalisasi karakter yang bersumber dari politik proyek pendidikan mestinya dihentikan segera. Karakter siswa mestinya dibangun berdasarkan Proyek politik pendidikan. Pendidikan, pengajaran dan pembelajaran berkiblat  kepada penguatan peradaban manusia, pengakalbudian manusia, dan pembudayaan manusia. Manusia yang beradab, berakal budi dan berbudaya berdarkan hasil dari sebuah proyek politik kurikulum pendidikan bukan hasil dari politik proyek kurikulum pendidikan. Berhentinya berbagai program pendidikan yang diluncurkan oleh Pemerintah karena sarat dengan pola ”ada anggaran ada kegiatan”. ”Habis anggaran habis juga kegiatan”. Padahal arahnya adalah berkelanjutan.

BACA JUGA:
Suara Gereja Katolik dalam Menghadapi Krisis Lingkungan: Refleksi dari “Laudato Si”
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More