Eksistensi Guru Honorer: Sebuah Refleksi HUT ke-76 Kemerdekaan RI
Oleh: Rudi Haryatno (Alumnus STFK Ledalero Maumere, Flores, NTT)
Terlepas dari pengaturan hitungan honor dan pengawasan langsung oleh otoritas pemberi tugas, para guru honorer di pelosok negeri telah mengajarkan perihal cinta tanah air. Mereka tidak bersuara lantang sampai berbusa-busa di hadapan dan melalui media, perihal bagaimana mencintai dan mengabdi pada Ibu Pertiwi. Mereka mengajarkannya melalui praktek nyata dalam tugas dan tanggung jawab mereka.
Yonatan Tamaleb dan Martinus Taninas, misalnya, guru honor di SDN Kuafenu, Kec. Fatumnasi, Kab. Timor Tengah Selatan, NTT yang terus mengajar, walau hanya menerima honor Rp. 100.000 per empat bulan (kumparan.com, 17/06/2021). Atau Oktavia (45), guru honorer pada Pendidikan Layanan Khusus Cerdas Anak Bangsa Wairbukan, Desa Wairterang, Kec. Waigete, Kab. Sikka, NTT yang setelah mengabdi 10 tahun, baru tiga tahun mendapat honor yang bersumber dari dana BOS. Bahkan, dari tahun 2010 hingga 2016, dia bersama beberapa rekannya mengabdi tanpa upah (Kompas.com, 26/11/2020).
Kisah ironis-inspiratif lain misalnya, Elly Mekawati, guru honorer asal Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang harus menempuh jarak 8 kilometer di Situgede, dengan melewati perbukitan dan kawasan hutan, untuk pergi mengajar. Sementara itu, Elin, guru honor SMP Budi Luhur Sebakis Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, yang belum pernah menerima upah setelah mengabdi selama lima tahun. Walau suaminya mendesaknya untuk berhenti mengajar, ia menentang dan tetap mengajar, dengan alasan kasihan pada murid-muridnya (nasional.tempo.co, 30/03/2021).