Eksistensi Guru Honorer: Sebuah Refleksi HUT ke-76 Kemerdekaan RI
Oleh: Rudi Haryatno (Alumnus STFK Ledalero Maumere, Flores, NTT)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru honorer dipahami sebagai “guru yang tidak digaji sebagai guru tetap, tetapi menerima honorarium berdasarkan jumlah jam pelajaran yang diberikan”. Selanjutnya, Mulyasa (2013) mengartikan guru honorer sebagai tenaga pendidik “yang diangkat secara resmi oleh pejabat yang berwenang untuk mengatasi kekurangan tenaga pendidik, namun belum berstatus sebagai pegawai negeri sipil”.
Bertolak dari pemahaman ini, guru honorer dituntut untuk disiplin menjalankan tugasnya sebagai pengajar. Ia diwajibkan untuk selalu mengisi jam pelajaran, sebab hitungan honornya berdasarkan jumlah jam pelajaran. Artinya, jika melawati beberapa jam pelajaran, maka honornya pun akan dipotong. Karena itu, mereka dituntut untuk disiplin menjalankan tugas. Tututan kedisiplinan ini, selain karena desakan honor, juga karena guru honorer berada langsung di bawah otoritas yang mengangkatnya. Mereka diawasi secara langsung oleh otoritas pemberi tugas. Praktek ketidakdisiplinan pun akan berkonsekuensi pada pemecatan atau pemutusan hubungan kerja. Jadi, tidak mengherankan jika ada banyak kisah guru honorer di daerah perbatasan atau daerah bagian Timur Indonesia yang berani berkorban menyeberangi berbagai rintangan infrastruktur jalan, menembus hutan dan badai demi menjalankan tugasnya.