DPR: Mosa Oa Daki Pai, Mosa Ata Pidi, Daki Ata Ti’i
Oleh Dionisius Ngeta, Staf YASBIDA Cabang Sikka, Tinggal di Maumere
Terminology “mosa daki” seorang legislator atau jabatan politis lainnya bersifat sementara dan terberi. Bukan kekal dan bukan karena profesi profesional. Bukan juga merupakan ahli waris nenek moyang (mosa pu’u, daki odo) sehingga harus diwariskan, dipertahankan dan diperjuangkan mati-matian dengan segala cara bahkan melabrak etika dan tata aturan. Kekuasaan dan hak-hak yang melekat pada mereka adalah kekuasaan dan hak-hak yang diberi/dimandatkan dan bersifat sementara selama masyarakat percaya (mosa ti’i, daki pati).
Karena itu menunjukkan kerendahan hati dan kebijaksanaan sebagai pelaksana mandat rakyat adalah sebuah imperative/kewajiban moral. Pemilik mandat dan kedaulatan mestinya berhak mendapatkan seorang pelaksana mandat atau pesuruh dalam bahasa Rocky Gerung dengan predikat “mosa nee rende, daki nee ngai” (pribadi terhormat, beradab, memiliki kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan sosial) demi kelanggengan kepercayaan masyarakat. Ia bukan “mosa kasa kapa, daki engge mere” (bukan pribadi otoriter, pemeras dan peralatkan masyarakat). DPR juga bukan “mosa ngai re’e, daki rende raki” (pribadi dengan rekam jejak dan karakteristik moralitas buruk). Kehadiran dan keberadaannya di Parlemen harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa ia adalah “mosa ngai sia, daki rende bhala” (pribadi pemberi jalan pada kebuntuan dan mendatangkan solusi pada persoalan masyarakat). DPR juga adalah “mosa-paka, daki-songga, mosa-nua, daki-oda” (pribadi berpengaruh pada jalan kebenaran dan pekerja keras, terhormat dan menjadi panutan komunitas/masyarakat). Parlemen adalah lembaga terhormat. Kandidat (DPR) adalah orang-orang terhormat, yang sudah selesai dengan dirinya. Ia adalah “mosa ngai ria, daki rende bhala, mosa kema modo, daki ghawo pawe” (pribadi dengan integritas moral, sosial-budaya, spiritual berahklak dan berkelakuan baik). Tidak cukup seorang legislator hanya memiliki kemampuan, keberanian dan ketegasan mengartikulasikan persoalan rakyat agar direspon pemerintah (mosa waka nga’a, daki wiwi jewa). Ia adalah “mosa tonggo monggo, daki tenu ghemu” (DPR adalah penunjuk jalan kebenaran karena integritas moralnya), bukan “mosa sada peda, daki sada rada” (sumber dan pelaku masalah dan kejahatan susila lainnya).