
Dinamika Inklusi Sosial dan Penolakan Pembangunan Geotermal di Pocoleok
Oleh Benyamin Rahmat, Mahasiswa STIPAS St. Sirilus Ruteng
Ketiga, mekanisme kompensasi yang adil dan transparan harus diterapkan untuk mengurangi ketimpangan distribusi manfaat. Kompensasi ini tidak hanya berupa uang, tetapi juga akses terhadap fasilitas sosial, peluang kerja, dan program pengembangan ekonomi lokal.
Keempat, pelibatan tokoh adat dan budaya dalam pengelolaan proyek menjadi langkah strategis untuk mengharmonisasikan pembangunan dengan nilai-nilai lokal. Penghormatan terhadap adat istiadat dapat mengurangi konflik budaya dan memperkuat legitimasi proyek di mata masyarakat.
Kesimpulan
Dinamika inklusi sosial dan penolakan pembangunan geotermal di Pocoleok menunjukkan bahwa proyek pembangunan energi terbarukan tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan budaya masyarakat setempat. Penolakan masyarakat lebih banyak berakar pada persoalan ketidakadilan, ketidakterlibatan, dan ketidakpastian dampak sosial-lingkungan yang dirasakan. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan geotermal tidak hanya bergantung pada aspek teknis dan ekonomi, melainkan juga pada kemampuan pengelola proyek untuk mengintegrasikan prinsip inklusi sosial, dialog partisipatif, dan keadilan sosial dalam setiap tahap pembangunan. Pendekatan ini tidak hanya meminimalisasi konflik sosial, tetapi juga membangun hubungan harmonis antara pembangunan energi dan keberlanjutan sosial budaya masyarakat lokal. Dalam konteks yang lebih luas, studi kasus Pocoleok dapat menjadi refleksi penting bagi pengembangan proyek energi terbarukan lainnya di Indonesia agar pembangunan dapat berjalan selaras dengan aspirasi dan hak-hak masyarakat, sehingga menciptakan manfaat yang berkelanjutan bagi semua pihak.***