Ketidakberadaban verbal yang dilakoni kaum intelektual Ibu Kota ini ( mahasiswa – mahasiswi ), dinamakan “Diabolisme”. Diabolisme berarti pemikiran, watak dan perilaku a la iblis atau pengabdi iblis. Diabolisme juga berarti menegasikan kepatuhan dan ketundukan, kesediaan dan kemauan untuk merendah, turut dan melaksanakan kebaikan – kebaikan Tuhan ( Bdk. Dr. Syamsudin Arif, Diabolisme Intelektual ). Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa “Diabolisme Kaum Intelektual” sebagai “anomali” pemikiran, watak, tutur kata, perilaku kaum intelektual (mahasiswa – mahasiswi “metropolitan”) yang menyimpang dari kebenaran dan kebijaksanaan. Artinya, dalam dirinya, para kaum intelektual tahu bahwa pemikiran, watak, tutur kata dan perilaku yang barbaris, fulgar dan sarkais adalah benar – benar salah, tetapi demi mempertahankan kehendak dan opini liar, mereka tidak berhamba pada kebenaran dan kebijaksanaan, melainkan berhamba pada kesesatan. Pada hal yang lain, kaum intektual yang diabolis menempatkan kebenaran dan kebijaksanaan sebagai yang relativ karena arogansinya, bukan kebenaran dan kebijaksanaan mutlak yang diusungnya. Perlu dibuat suatu gugatan, entahkah intelektualitas mahasiswa – mahasiswi “metropolitan” ini sudah berhamba pada diabolisme yang mendekstruksi peradabannya ? Jika saja pertanyaan ini lebih merujuk kepada esensi predikat mahasiswa sebagai kaum intelektual, maka, mahasiswa mesti menunjukkan kemahaannya yang lebih tinggi pendidikannya melalui pola pikir, pola ucap dan pola lakunya dalam kerangka kebenaran dan kebijaksanaan.
Berita Terkait