Oleh: Gervas Lolonrian
Luruq, gelas berisi moke ditetskan ke tanah, sebongkah nasi diikuti pula sebagai tanda memberi makan kepada lelihur. Tradisi memang tak bisa diubah. Luruq, memberika makan para leluhur adalah kebiasaan Orang Kedang. “kita makan mereka juga makan”.
Makan malam kali ini sangat seru. Semua keluarga besar hadir dengan membawa makanan masing-masing sesuai dengan alakadarnya. Dari ubi rebus, kuah daun merunge, hingah jagung titi dan tuak yang adalah makanan khas orang kedang. Duduk dengan posisi melingkar, diutusnya satu orang anak sebagai pelayan ditengah atau biasa disebut dengan bahasa setempat sebagai galeka. Tawa adalah suasan yang mendominasi makan malam ini. dari cerita ketua RT tentang pertemuan di desa yang heboh karena saling serang antar dusun, atau cerita ketua KBG tentang umat KBG yang keras kepala dan pemalas atau cerita beberapa bapak yang berprofesi sebagai nelayan dimana perahu mereka yang ditarik ikan besar. Sungguh seruh dan ramai. Selesai santap malam dilanjutkan dengan limbah mulut. Tidak dengan minuman dingin, atau kue tar panas tetapi sirih pinang dan tuak. Suasana makin seruh ketika semua mulut dilumuri bercak merah koloaborasi atara siri, pinang dan kapur sirih yang membuat mulut terasa panas dan bersemangat. Ada pula ludahan yang memberi warna merah pada tanah. Semuanya tersenyum sambil si galeka merapikan dan menyusun piring-piring kotor. Hampir larut, setelah semuanya disegarkan dengan siri, pinang dan tuak ada wejangan singkat dari seorang bapak yang paling tua kepada si galeka yang disaksikan dengan antusias oleh semua yang berada di situ.