Covid-19, Ateisme dan Kematangan Iman
Upaya mencari pelindungan ini merupakan bagian tindakan manusiawi, dan justru dapat berkontribusi membentuk karakter religius seseorang atau sekelompok masyarakat. Ketika mengalami penderitaan setiap orang menyadari situasi batas, dan dengan segala cara berusaha keluar dari keadaan tersebut. Karl Jaspers (1883-1969) menyebut situasi batas ini dengan istilah “chiffer-chiffer”; situasi tak tak berdaya (powerless); tetapi membuat orang tertantang untuk tetap bertahan dan berjuang untuk keluar dari situasi tersebut.
Karakter mampu bertahan dan berjuang merupakan keutamaan religius yang menjadi luaran dari berbagai model pergulataan saat orang mengalami penderitaan. Bahkan begitu pentingnya pengalaman penderitaan ini, ada orang atau sekelompok orang yang rela, bahkan sengaja berada dalam penderitaan; demi bertumbuh dan berkembangnya karakter ini. Lennox mengutip Dostoyevsky (1821-1881) yang mengatakan, “Pain and suffering are always inevitable for a large intelligence and a deep heart.”
Penderitaan selalu tidak terelakan untuk mereka yang memiliki kecerdasan dan kesabaran hati. Mereka yang terlibat dalam penderitaan adalah orang-orang yang terbukti dan teruji dalam menjalani hidup ini. Dalam konteks inilah, Lennox sangat menentang konsep fatalistik kaum Ateis yang menyebut bahwa wabah Corona ini sama sekali tidak bermakna untuk kehidupan manusia. Menurut kaum ateis, Corona adalah model kecelakaan yang bersumber dari alam semesta dengan ketidakpedulian tanpa ampun (pitiless indifference).