“Buru Warat” dan Deep Ecology ala Orang Manggarai

Oleh: Bernadinus Steni*

Mereka terikat dengan tulang belulang dan sebaliknya, tulang bersangkut-paut oleh urat syaraf. Karena itu, tidak ada yang terpisah.

Tindakan manusia pun demikian, tidak lepas dari ekosistem dimana dia hidup. Sudut pandang ini percaya, homo sapiens ada dan disebut manusia karena hubungannya dengan yang lain.

Kembali ke tradisi-tradisi lokal, perubahan sosial memang menggeser banyak hal. Dulu, peristiwa alam semacam itu segera diikuti tindakan kolektif.

Para perwakilan keluarga atau sub-suku bertemu untuk memeriksa sebab kolektif atau perilaku individu. Bila pada individu ditemukan soal, perbaikan dilakukan dengan ritual maupun hukuman.

Namun tak jarang sebabnya adalah kolektif. Karena itu, tanggung jawab kolektif harus ditentukan dengan mendengar dari alam. Apa bentuk dan wujud tanggung jawab itu akan ada ilham, wahyu dan sejenisnya.

Belakangan ini ketika banyak bencana banjir dan longsor melanda, pertanyaan sikap moral masih kerap muncul. Nilai-nilai itu, betapapun diejek sebagai noda ketertinggalan, tidak sepenuhnya terkikis oleh perubahan jaman.

BACA JUGA:
Bawaslu Manggarai Temukan Kesemrawutan DPS Pilkada
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More