“Buru Warat” dan Deep Ecology ala Orang Manggarai

Oleh: Bernadinus Steni*

Seperti diungkapkan salah satu tokoh utama Deep Ecology, Arne Naess, “…pertimbangan ekologis harus dianggap sebagai prasyarat untuk kualitas hidup, oleh karena itu tidak di luar tanggung jawab manusia…” (Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, 1989).

Lebih dari itu, Deep Ecology menjalin kembali potongan cerita keseimbangan ekosistem dari berbagai ajaran spiritual, bahwa di antara makhluk hidup berlangsung dialog.

“Dunia sebagai Kekasih, Dunia sebagai Diri,” kata pemikir deep ecology Buddha, Joanna Macy, yang berarti bahwa hubungan esensial kita dengan alam dapat menggabungkan cinta, identifikasi, dan keintiman.

Satu makhluk bertalian dengan makhluk lainnya sekaligus berkomunikasi. Tidak ada makhluk yang sia-sia, bahkan tidak ada kelas rendah karena semua koneksi yang berlangsung mempuyai peran mendukung kehidupan.

Keyakinan itu pula yang membawa dan dibawa ilmu ekologi pada dan dari berbagai tradisi tua yang diyakini sarat dengan spiritualitas keseimbangan alam-manusia.

Syahdan, dalam berbagai kebudayaan tua, deep ecology telah bergurat akar. Memang, tidak dituturkan terbuka seperti omong-omong yang ramai di medsos.

BACA JUGA:
Shio Tikus-Pandemi Covid-19 – Shio Kerbau, Pelajaran untuk Hidup
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More