Bumi Bukan Milik Manusia, Manusialah Milik Bumi
Penulis Benediktus Kasman, Pegiat Sosial tinggal di Wairpelit, Maumere-Flores-NTT
Mayoritas pemuda mempraktikan pembaharuan itu. Semakin lama semakin banyak pengikut mulai dari sayur-sayuran organik hingga kosmetika dibuat tanpa merusak bumi.
Pintu untuk memasuki dunia baru menuju pembaruan dimana ditawarkan barang yang tidak mengandung kimia sudah masuk di setiap pasar. Tiba-tiba ekologi menjadi tematikan yang cukup menguntungkan dari sisi ekonomi.
Juga sistem pertanian ditawari pilihan pertanian organik, terpadu sesuai lingkungan sekitar, manusia, ternak dan alam. Semuanya saling keterkaitan-holistik.
Di Indonesia Flores masih ditemui praktik mengolah tanah dengan tenaga manusia, peralatan manual, ditanam tanpa pupuk kimia dan benih lokal tertentu ada di tangan petani. Barangkali pola bertani tersebut dilandasi pengalaman tuturan lisan para leluhur yang tak lekas ditelan zaman. Dalam keyakinan purba suku bangsa Manggarai dilukiskan dengan terminologi tentang bumi sebagai Ende Tana Wa-ibunda bumi. Atau keyakinan suku Indian Suquamish di Amerika tentang bumi yang diserukan ketuanya pada 1848: “Setiap bagian dari bumi sakral buat kami. Kalau pucuk pohon pinus, pantai berpasir, embum di pepohonan, dengung serangga adalah suci dalam pikiran dan pengalaman rakyat kami. Bumi bukan milik manusia, manusialah milik bumi. Segala sesuatu bertalian bagai darah menyatukan keluarga. Semuanya saling bertautan.” (*)