“Air Mata Buaya”; Berjagalah terhadap Tangisan Manipulatif (Bag. II)
Oleh Fardinandus Erikson ( Peminat Karya Pendidikan)
Bernardus dari Clairvaux, seorang teolog dan mistikus Abad Pertengahan, menekankan pentingnya penyesalan yang berakar dalam kasih kepada Tuhan. Bernardus mengajarkan bahwa penyesalan sejati (contritio) tidak hanya mengakui dosa, tetapi juga timbul dari kasih yang mendalam kepada Tuhan yang terluka oleh dosa kita. Penyesalan dalam pandangan Bernardus adalah perasaan yang mendalam dan sukarela untuk mengubah hidup demi mendekatkan diri kepada Tuhan. Penyesalan bukan sekadar tindakan mekanis untuk mendapatkan pengampunan, tetapi sebuah perubahan hati yang tulus yang memunculkan keinginan untuk hidup lebih sesuai dengan kehendak Tuhan.
4. Tangisan yang Tidak Sesuai dengan Situasi: Jika seseorang menangis di waktu yang tidak tepat atau dalam situasi yang tidak sesuai dengan alasan yang diberikan, ini juga bisa menunjukkan bahwa tangisan tersebut tidak tulus. Misalnya, seseorang menangis bukan karena kesedihan nyata, tetapi karena ingin menghindari tanggung jawab atau membuat orang lain merasa kasihan. Ketidaktulusan dalam filsafat sering kali dikaitkan dengan konsep ketidakautentikan atau kepura-puraan, yang diungkapkan oleh beberapa filsuf melalui berbagai perspektif terkait kebebasan individu, moralitas, dan kejujuran. Jean-Paul Sartre, dalam eksistensialisme, mengembangkan konsep “bad faith” yang merujuk pada ketidaktulusan diri, di mana individu menghindari kebebasan mereka dan hidup dalam ilusi untuk menghindari tanggung jawab. Friedrich Nietzsche, dengan kritiknya terhadap moralitas tradisional, berargumen bahwa ketidaktulusan terjadi ketika individu hidup mengikuti nilai-nilai eksternal tanpa mencapainya secara autentik, mendorong mereka untuk membentuk moralitas sendiri.