24 Alumni IFTK Ledalero Jadi Uskup, 14 dari Seminari Tinggi Ritapiret, 10 dari Seminari Tinggi Ledalero
Wall Abulat (Penulis Buku Karya Kemanusiaan Tidak Boleh Mati dan Alumnus IFTK Ledalero)
NOMEN est omen-nama adalah tanda. Demikian adagium bermakna yang bisa membantu kita untuk memaknai ziarah panjang Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero atau yang sejak tahun 2022 lalu diubah nomenklatur namanya menjadi Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero.
Nama Ledalero atau Bukit Sandaran Matahari Terbit menjadi sebuah nomen/nama yang menjadi omen/tanda bagi siapa saja yang pernah mengenyam pendidikan di lembaga ini, atau bagi siapa saja yang pernah bertandang ke sana.
Nama ini selalu ada di hati kita karena di balik nama itu terlahir sejumlah tamatannya/alumni yang menjadi pemimpin agama, baik di Keuskupan, maupun kongregasi atau unio/paguyuban imam diosesan.
Dalam upaya memaknai ziarah Ledalero sebagai panti pendidikan imam terbesar di dunia, tentu kita harus memulai momen berahmat itu dari Mataloko locus formasi perdana novis Kongregasi Societas Verbi Divini (SVD) pada tahun 1932/1933.
Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 30 September 1932 Mgr. H. Leven, SVD, sebagai Provicaris Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara) memberkati batu pertama fondasi gedung yang dikenal dengan Rumah Tinggi di Mataloko. Gedung itu dimaksudkan sebagai ruang kuliah bagi para mahasiswa filsafat angkatan pertama, yang baru tamat Seminari Menengah Todabelu. Mereka belum disebut frater karena belum ada izinan untuk mendirikan Novisiat.