Mempertimbangkan Pendelegasian Perempuan dalam Proses Adat Perkawinan di Sikka

(Catatan kecil di tengah budaya patriarki)

Menata Pariwisata Yang Partisipatif dan Holistik
Penulis Alvares Keupung. Foto istimewa

Oleh: Alvares Keupung*

 

SEPERTI pada hampir seluruh budaya masyarakat di Flores, demikian juga budaya masyarakat di Sikka (kecuali Tana Ài) menganut sistem budaya Patriarki. Budaya Patriarki dipahami sebagai tata kebiasan masyarakat yang menempatkan pria sebagai dominator dalam tata kehidupan sosial. Dalam sistem Patriarki, peran kaum pria lebih mendominasi untuk menata kehidupan bersama, pun termasuk segala keputusan yang mengikutinya.

Sistem paham yang demikian, cukup memengaruhi juga dalam konteks proses adat perkawinan di Sikka. Sampai di sini, pertanyaannya, adakah ruang bagi kaum perempuan untuk keterlibatannya dalam urusan proses adat perkawinan di Sikka, sekurangnya dalam hal pendelegasian ?

Jika kita coba memeriksa sejarah, ada begitu banyak perjuangan kaum perempuan untuk mensejajarkan diri dengan kaum pria dalam tatanan kehidupan bersama. Dalam hal ini, perjuangannya mau menegaskan bahwa kaum perempuan bukanlah golongan The Second Class (kelompok kelas kedua). Ambil contoh : R. A. Kartini dengan matra perjuangannya ” Emansipasi Wanita “, pada akhirnya memutuskan mata rantai dominasi Patriarki terutama di bidang pendidikan yang sudah ” mentakhtakan ” kaumnya untuk sejajar dengan kaum pria. Mengapa harus pendidikan? Hemat penulis, R. A. Kartini tahu dan peka bahwa hanya melalui pendidikan, peradaban kaumnya tidak terjebak dalam golongan ” periferis “, tetapi dapat masuk dalam zona ” elitis “. Jika pendidikan sudah memadai, maka, urusan ikutannya dimudahkan. Dalam hal ini, perjuangan R. A. Kartini telah mengangkat marwah kaum perempuan kepada peradaban yang sama dengan kaum pria.

BACA JUGA:
Membangun Perspektif Positif: Keterlibatan Biarawan dan Biarawati Menuntaskan Kasus Korupsi BTT di Kab. Sikka
Berita Terkait
1 Komen
  1. Julianus Selsius berkata

    Saatnya kaum perempuan diberi ruang utk kula babong di meja adat dlm urusan perkawinan. Zaman sdh berubah kesetaraan dan keadilan gender tdk hy wacana tapi hrs diwujudkan. Menjadi presiden, menteri, DPR/DPRD, kadis, camat dan kades jg bisa, apalagi hy jubir di meja adat yg hy melibatkan dua keluarga.
    Kalau gagasan ini datang dr kaum laki-laki untuk kemajuan kaum perempuan, luar biasa. Tempora mutamur et nos mutantur in ilis.

Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More